Save My Soul

shares |


Hujan baru saja reda, langit tampak begitu gelap. Senja merangkak di antara keremangan hari. Seekor anak ayam lari tergopoh-gopoh, walau dengan kaki pincang sebelah dia masih berusaha berlari kencang mendahului teman-temannya menuju kandang. Dinginnya sore merasuk hingga tulang, pecah oleh kumandang adzan disebuah masjid kecil dekat rumahku. Menyayat hingga kalbu di antara jiwa yang lelah.



Baru saja usai, ketika ku mainkan jemari tanganku, derup langkah kaki mengusik telingaku. Sesosok bayangan menembus gelap senja. Ku tolehkan wajahku untuk melihatnya. Ah itu kamu yang datang. Tak tertarik aku untuk memastikannya. Aku hafal betul kalau itu kamu yang datang. Kembali ku mainkan jemariku. Tapi apa benar itu kamu? Tak mungkin aku salah. Langkah kaki itu begitu mantap, tentu itu pasti kamu. Terpaksa aku harus menoleh yang kedua kalinya untuk memastikannya. Walau gelap menyelimuti tapi aku pastikan bahwa itu kamu, langkahmu yang pasti, kokohnya badanmu, kau tak bisa menipuku. Tapi langkah itu terlihat gontai tak bernyawa, dan kau bukanlah manusia yang ketika berjalan kau tak memastikan untuk berjalan. Wajah itu tampak tertunduk lesu, dan wajahmu tajam menatap ke depan. Matu itu tampak sayup, dan sorot matamu membelah di antara cakrawala. Wajahmu penuh dengan senyum, mengajak semua untuk berdamai. Tubuh kekarmu dengan otot yang menjuntai manandakan bahwa sudah banyak jalan yang telah kau lalui.

Ku pandang lekat-lekat bayangan itu yang kian mendekat di antara gelap. Semakin dekat dan semakin dekat. Ah kawan tega sekali kau mempermainkan pikiranku, kau sungguh biadab memaksaku untuk berpikir hanya untuk memastikan siapa kamu. Kau datang dengan berbeda, tak tampak seperti kawan lamaku yang cerewet. Seperti tak merasa bersalah kau langsung duduk di sampingku, kawan kau sungguh tak sopan, apalagi manyapa, memandang pun tak kau lakukan. Kau biarkan aku melongo menatap tingkah bedamu. Jahat sekali kau kawan. Kau hanya duduk kemudian menatapku tanpa berkata apa-apa sambil menempelkan jari telunjuk di hidungmu. Sebelum kau tiba sampai kau duduk di sini belum ada sepatah kata pun yang terucap. Tetapi kau sepertinya tahu hatiku begitu gaduh mempertanyakan apa yang terjadi. Kau benar-benar hebat kawan.

15 menit berlalu, hanya terdengar suara kodok yang bersahutan. Kau diam, aku pun juga diam. Kau kemari apa hanya untuk diam? Aku mohon kawan jangan kau buat aku bingung untuk ketiga kalinya. Mungkinkah kau sedang sakit? Tidak, kau tak pernah sakit kawan, kau selalu sehat. Kau hanya sakit ketika melihat aku terluka. Apa kau sedang berubah menjadi orang yang pendiam? Kau memang mudah untuk berubah kawan, aku tahu itu, tapi kau tak akan diam kawan ketika aku berbuat tidak baik, kau akan menjadi orang yang paling cerewet. Kau telah membuat kesalahan besar? Ah rasanya tak mungkin, kau selalu hati-hati dalam melangkah. Kau akan menangis keras di hadapanku. Kawanku yang baik aku harap kau tak membuat aku bingung untuk yang keempat kalinya.
“Apa kau pernah di usir dari rumahmu sendiri?” Seperti matahari bersinar di malam hari, setelah sekian lama hanya diam, dari bibir manismu terucap sebuah pertanyaan. Kawan kau tak kasihan denganku, otak ku sedari tadi penuh dengan misterimu. Katakan saja apa yang ingin kau ucapkan, lakukan saja kawan apa yang akan kau kerjakan. Aku tahu kawan kau sedang dalam masalah, dan kau harus tahu kawan aku selalu ada untukmu.
Kau tiba-tiba menunduk lesu kemudian tersenyum kepadaku. Ya senyum indahmu itu selalu membuat aku teringat padamu. Akan aku dengar kawan berucaplah. “Aku sedang patah hati sahabatku”, maaf kawan terpaksa aku harus tertawa. Ternyata kau bisa jatuh cinta, tak dapat aku bayangkan betapa hebatnya, betapa beruntungnya dia mendapatkan cintamu. Tak mungkin orang itu biasa saja sampai meluluhkan hatimu.

“Setelah lama berjalan, segenap rasa ditumpahkan, segala daya telah dimuntahkan, dari susah menjadi bahagia, dari khawatir sampai pasti, dari rindu sampai bertemu, dari berjanji sampai menepati. Hingga sampai pada titik dimana kejenuhan menghantui, bertahan atau menghindar. Sumpah bukan hanya sekedar sumpah, mengingkari atau membohongi. Ketika ego menguasai, dunia hanya sekepal tangan, menyiksa atau menyakiti.”

“Rumah itu terlihat indah, dengan atap cinta serta pagar janji, sederhana tapi menjajikan kebahagian hati di dalamnya. Tempat melepas penat, lelah serta gembira. Rumah ini begitu berharga, seharga rasa dan hati. Dia tuliskan namaku di dalam sana, tepat di depan pintu masuk, walau hanya dengan kapur, tapi dia begitu pandai menempatkan namaku di sana. Tak ada apa-apa dalam rumah itu, hanya ada dia dan aku. Hanya kesederhanaan yang aku tawarkan.”

“Sampai suatu saat dia harus memilih dalam kehampaan. Dia mengusirku dari rumah yang aku bangun. Dia begitu mudah memporak porandakan rumah itu. Rumah yang aku kira dengan pondasi kokoh itu dengan mudahnya dia hancurkan. Dan dalam sekejap dia bangun kembali rumah itu. Rumah yang mewah, seperti yang dia impikan. Walau masih dengan pintu yang sama, hanya tulisan yang ada di depan itu yang berbeda. Aku sekarang tahu kenapa dia menulis namaku dengan kapur. Tidak adakah cara terbaik untuk mengusirku.”

Kau menunduk tak melihatku. Aku tahu kawan kau sedang menangis. Asal kau tahu kawan, aku yakin air matamu akan sangat berharga untuk menetes. Aku sekarang mengerti tak semua karang dipantai tegar tergerus ombak. Jangan kau membenci siapapun kawan, semua adalah sebuah proses. Duduklah yang tenang kawan, pandanglah aku, hapus air matamu, dengarkan apa yang ingin aku ucapkan padamu.

Mengertilah kawan, kau adalah orang yang terpilih Tuhan untuk menjadi terhebat di antara orang-orang hebat. Aku iri padamu kawan, sungguh aku sangat iri. Ingat bahwa Tuhan tak akan menguji hambanya diatas kemampuannya. Kau berarti telah terpilih memiliki kemampuan di atas masalahmu. Tak semua orang seberuntung kau kawan, kau berada hampir di titik puncak, dan kau memilih untuk melanjutkan jalanmu, orang lain mungkin lebih memilih terjun ke bawah. Air mata itu tak sia-sia menetes, dia telah membersihkan noda-noda yang ada di pipimu.


Kau bukan berada di jurang kawan, kau sedang berada di tangga hidup, kau telah diuji untuk mendapatkan gelar kehidupanmu. Kawan kualitas kehidupanmu telah diangkat Tuhan. Selesaikan soal-soal itu kawan. Jangan berharap ini tak terjadi, ini harus terjadi agar kau bisa bangkit kawan. Tunjukan bahwa kau bisa menyelesaikannya. Kau telah membuat aku iri kawan, sekali lagi kau telah membuktikan kelasmu dihadapanku. Kau tak pantas bergaya sebodoh itu di atas kehebatanmu. Tegakan kepalamu kawan, kau harus bangga dengan dirimu.

Sekarang berdirilah kawan, lihat surya telah mengintip di ufuk, sebentar lagi pagi. Sambut dia kawan, tersenyumlah, tunjukan senyum terbaikmu kepadanya. Berlarilah, berlarilah dengan kencang, tatap depanmu jangan pernah kau menoleh ke belakang. Terbanglah kawan, aku yakin kau sanggup terbang dengan sayap sebelah. Terbanglah kawan....terbanglah......


Abimanyu The Adventure

Related Posts