Naskah Teater Musikal "Asthabrata"

shares |

ASTHABRATA

TOKOH-TOKOH:
1.    RAMA                : Tokoh sentral, pemuda berbudi luhur.
2.    LAKSMANA            : Adik Rama
3.    SHINTA            : Istri Rama
4.    DASARATA            : Raja Ayodya, suami Kakayi dan Kusalya, Ayah Rama, Laksmana, Bharata dan Satruga.
5.    BRAHMANA WASISTA    : Kakek Rama, Laksmana, Bharata dan Satruga.
6.    KAKAYI            : Permaisuri Kerajaan Ayodya. Istri Dasarata. Ibu Bharata.
7.    BRAHMANA YOGISWARA    :
8.    PENGEMBARA        :
9.    PRAJURIT
10.    PENGAWAL


Dimulai dengan pembacaan puisi.

Bangkit itu SUSAH!
Susah melihat orang lain susah
Senang melihat orang lain senang

Bangkit itu Takut…
Takut korupsi
Takut makan yang bukan haknya

Bangkit itu Mencuri!
Mencuri perhatian dunia dengan prestasi…

Bangkit itu MARAH!
MARAH!!! Bila martabat bangsa dilecehkan!

Bangkit itu malu…
Malu jadi benalu
Malu karena minta melulu

Bangkit itu… Tidak ada!
Tidak ada kata menyerah!
Tidak ada kata putus asa!

Bangkit itu… AKU!
Untuk Indonesiaku…





Lampu padam, suasana gelap dan sunyi. Soundtrack Song Teater dimulai. Dalang mengucapkan janturan sebagai kilas flashback cerita.

Swuh rep hening sesanti sakala niskala, ana carita mijil saking cipta nirmala, ginupit ing carita purwa ambabar surasaning kitab agung, wedha palupuning sagung dumadi kandha cetha maweh surasa, becik ketitik ala ketara, sapa kang mbibiti ala ing kama wahyune bakal sirna. Aninggih nagari pundita ingkang kaeka adi dasa purwa. Eka marang sawiji; adi linuwih; dasa sepuluh;purwa marang wiwitan. Senadyan kathah titahing Gusti kang kasonganing akasa, sinangga ing pratiwi, kaapit ing samudra kathah ingkang samya anggana raras. Nanging datan dadi ing nagari Ayodya. Mila winastan nagari................., sayekti kedhatoning prabu hasti. Marwa winastan..............
Pantes kinarya bebukaning carita, labet ngupaya nagari satus datan antuk kalih, sewu tan jangkep sedasa. Dasar nagari panjang, punjung, pasir, wukir, loh jinawi, gemah, ripah, karta tata lan raharja. Panjang dewa pacopane, punjung luhur kawibawane, pasir samudra wedi, wukir gunung. Prayata negara ngungkuraken pagunungan, ngiringaken benawi, nengenaken pasebanan, miwah nguyanaken bandaran agung. Loh tulus kang sarwa tinandur dadi murah barang kang sarwa tinuku. Gemah kang samya lampah dagang layar rina pantaraning wengi andalidir data ana pedote, labet tan ana sangsayaning marga.
Karta para kawula ing padusunan samya tentrem atine mungkul pangolahing tetanen. Taneman katon ijo royo-royo temah muwuhi asrining sesawangan. Ingon-ingon raja kaya, kebo, sapi,pitik, iwen tan ana cinancangan, yen rahino aglar ing pangonan gumantining wengi podha bali marang kandgange sowang-sowang. Parandene datan ana kang cicir sajuga labet datan ana durjana, judhi, ngecu, gaple, selingkuh lan sapepadane. Raharja tegese tebih ing parang muka, labet para mantri bupati samya kontap kautamane, bijaksana limpat ing kaweruh, marsudi ing reh tata krami, angudi murih kuncaraning nagari.

Sebelum janturan dan soundtrack song selesai para penari latar sudah bersiap di panggung, dan suasana panggung masih gelap. Sampai janturan selesai, opening song “Anak Pelangi” dimulai lengkap dengan penari dan vokalnya. Lampu menyala.



ADEGAN 1

Opening Song selesai, lampu remang-remang. Dasarata masuk panggung dipapah dua pengawalnya dengan terhuyung-huyung, lesu dan sedih. Disusul seaat kemudian Rama dan Laksmana masuk panggung. Keget melihat ayahnya kemudian menyapa:

Rama
Ayahanda!

Dasarata
Engkau Rama?

Rama
Benar Ayahanda.

Dasarata
Oh anakku!

Dasarata memeluk Rama dan Laksmana.

Rama dan Laksmana terkejut menyaksikan keadaan Ayahandanya yang tiba-tiba jatuh gering. Seperti saling berjanji, mereka menoleh kepada Kakayi hendak meminta keterangan. Tetapi Kakayi tiada di tempat lagi. Dia telah meninggalkan tempat taktala Rama dan Laksmana menghadap ayahandanya. Ia percaya, Raja Dasarata tidak akan berani ingkar janji.

Rama
Laksmana, pasti telah terjadi sesuatu yang menggocangkan hati ayahanda, sehingga kesehatan beliau berubah dengan tiba-tiba.

Laksmana mengangguk. Diam-diam ia mengalihkan pandangan dan memperhatikan wajah ayahandanya yang pucat.

Laksmana
Apakah hamba perlu mamanggil tabib istana?

Dasarata
Jangan, Ayah ingin bicara, mana Rama?

Dasarata menggapaikan tangannya, dan Rama mendekat.

Dasarata   
Anakku! Berjanjilah padaku, engkau tak akan mempergunakan akal dan pertimbangan diri apabila melihat tetes air mata ayah.

Rama       
Bersabdalah. (dengan menundukan muka)

Dasarata   
Anakku! Seumur hidupku aku akan mengecewakan dirimu. Aku akan mengecewakan sejarah leluhur ibumu. Mungkin sekali dunia akan turut mengutukku. Inilah nasib ayahmu. Dewata tidak menghendaki, ayahmu akan hidup sebagai seorang brahmana. Suatu hari ibumu tiba di pertapaan menyerahkan warisan kerajaan kepadaku. Tentu saja aku wajib melestarikan darah Ragu Leluhur Ibumu. Tetapi bertahun-tahun lamanya, ibumu gagal melahirkan seorang putera. Karena itu aku mengambil Kakayi sebagai pendamping ibumu. Aku berjanji kepada Kakayi akan menobatkan puteranya sebagai penggantiku di kelak kemudian hari. Tetapi ternyata engkau lahir. Sekarang timbulah masalah yang menyusahkan hatiku. Kakayi menagih janji pada hari penobatanmu. Adikmu Bharata harus naik tahta kerajaan. Dan engkau harus meninggalkan kerajaan selama tiga belas tahun. Bagaimana pendapatmu anakku? Apakah aku harus ingkar janji?

Rama menegakkan kepala.

Rama       
Ayahanda! Sabda seorang raja adalah hukum negara. Kita harus berani bersemboyan, sekalipun bumi terbelah dan gunung meledak, hukum harus tetap berlaku, demi memelihara ketertiban hidup. Lagi pula , apa yang harus dirisaukan? Apa bedanya manakala Ayodya diperintah adinda Bharata? Adinda Bharata putera ayahanda juga. Dia tiada beda seperti Laksmana dan Satrugna.

Dasarata   
Benar, anakku! Tetapi engkau maninggalkan negeri. Inilah yang menyusahkan hatiku.

Rama       
Dahulu, pernah hamba memasuki hutan belantara membantu mengenyahkan raksasa-raksasa. Sekarang hamba akan menjalankan darma. Oh, ayah! Jangan ayahanda berduka cita! Perbedaanya hanya pada selisih waktu. Tetapi hamba berjanji hendak merawat diri baik-baik. Waktu tiga belas tahun akan hamba gunakan untuk belajar dan membangun keutamaan.

Dengan tatapan tak percaya, Dasarata menatap wajah puteranya.

Dasarata   
Benarkah itu kata-katamu sendiri?

Rama mengangguk.

Dasarata
 Kau rela melepaskan tahta? Kau rela meninggalkan negeri selama tiga belas tahun?

Rama mengangguk.

Rama       
Mengapa tidak, dengan demikian hamba dapat menebus janji paduka terhadap ibunda Kakayi. Berarti pula ikut menegakkan sendi hukum negara. Sebab hukum ternyata berada di atas kepentingan diri sendiri.


Dasarata   
Ah, anakku! Kata-katamu seperti suara Dewata. Baiklah! Tiada lagi yang ku katakan padamu. Berangkatlah dengan seluruh restuku. Engkau akan selamat, anakku.

Lagu “Menanti Ayah, Menanti Lintang” dimulai, vokalis masuk panggung bernyanyi. Rama dan Laksmana pergi perlahan meninggalkan panggung, kemudian disusul Dasarata. Sesaat kemudian Rama dan Laksmana muncul kembali sebagai background, seolah berada dihalaman kerajaan hendak pergi meninggalkan kerajaan. Setelah Rama dan Laksmana pergi, muncul Dasarata bersama pengawalnya dengan perasaan sedih serta kehilangan. Lagu selesai Dasarata pingsan. Lampu padam, suasana sedih.


*******************




ADEGAN 2

Lampu remang-remang. Kakayi beserta selirnya masuk panggung. Narator membaca sinopsis cerita.

Di  istana Ayodya, sepeninggal Rama, Shinta dan Laksmana. Dasarata yang jatuh pingsan tak pernah sadarkan diri lagi. Dia mangkat secara tiba-tiba. Tentu saja peristiwa ini mengejutkan seluruh penduduk negeri yang siap-siap menyambut hari penobatan.
Bharata mendengar warta duka cita itu meloncat dari tempat duduknya. Manakala mengetahui sebab musababnya, segera ia menghadap ibunya. Dengan muka merah padam ia menegur.

Bharata masuk bersama Brahmana Wasista sambil marah-marah.

Bharata   
Apa arti semua ini?

Kakayi       
Oh, anakku Bharata! Apakah yang harus ibunda katakan?

Bharata   
Hamba dengar, Ibunda berjuang merebut tahta, benarkah itu? Hamba dengar, Ibunda berjuang agar hamba dinobatkan menjadi raja, benarkah itu? Hamba dengar kakanda Rama meninggalkan istana selama tiga belas tahun karena permintaan Bunda juga, benarkah itu? Hamba dengar, Ayunda Shinta dan adinda Laksmana mengiringkan kepergian kakanda Rama, benarkah itu?

Kakayi terdiam, tak sanggup menjawab. Bharata kemudian menangis sedih, lalu menuduh.

Bharata        :
Apakah yang Bunda harapkan dari hamba? Apalah artinya hamba bila dibandingkan dengan kakanda Rama? Sedang dengan adik Laksmana saja kepandaian hamba tertinggal jauh. Barangkali oleh kenyataan itu, Bunda menyingsingkan lengan baju, menjinjing ujung kain, agar hamba mendaki tangga kemuliaan tertinggi. Karena dengan demikian, Bunda jadi orang berkuasa dan mulia. Oh, Ibu! Hamba tak menghendaki tahta kerajaan leluhur Ibunda Kusalya. Apa arti kemuliaan demikian, bila dibandingkan dengan cinta kasih kakanda Rama dan Ibunda Kusalya.

Kakayi       
Anakku, jangan engkau tak menghormati ibumu lagi.

Bharata   
Ibu! Dengarkan ajaran Brahmana Wasista. Sekalipun sanak saudara, bahkan ibu dan ayah sendiri, tiada sekali-kali patut didengar dan diindahkan, apabila memberi pengajaran yang tidak benar.

Suasana tegang. Kakayi dan selirnya kaget.

Kakayi terperanjat mendengar kata-kata Bharata. Sama sekali tidak diduganya, bahwa Bharata akan menentangnya. Ia terhenyak, hatinya pedih bukan kepalang. Tak terasa air matanya bercucuran. Dengan penuh sesal ia setengah mengutuk.

Kakayi       
Ini semua karena ulah Matara.

Bharata   
Matara?

Kakayi       
Ya, Matara pengasuhmu. Dialah yang mengingatkan ibumu akan janji ayahmu.

Bharata kemudian memanggil seorang pengawal istana. Dengan suara menggeledek ia memberi perintah agar Matara segera ditangkap.

Bharata       
Hai kau pengawalku, tangkap Matara hidup atau mati dan bawa ke sini.
Bunyi perintah itu sangat mengejutkan, sehingga para pengawal itu melompat mundur seperti tersentak. Brahmana Wasista menyela, dengan suara sabar, ia berkata:

Brahmana Wasista
Anakku! Dalam masa berkabung, janganlah tergesa-gesa menjatuhkan hukuman. Nyalakan kemuraman istana dahulu.

Bharata
Eyang! Hamba harus menyusul kakanda Rama. Beliau harus kembali ke Ayodya untuk naik tahta

Brahmana Wasista
Hal itu tidak perlu dilakukan dengan terburu-buru. Pada saat ini jenazah ayahanda Baginda masih terbaring di atas peraduan. Siapakah yang akan merawatnya, manakala Paduka berangkat menyusul Putera Mahkota Rama?




*******************



ADEGAN 3

Dalam pada itu, Rama, Shinta dan Laksmana sudah jauh meninggalkan tebing Sungai Tamasa. Setelah meloloskan diri dari perkemahan, mereka memasuki hutan belantara. Semak belukar, akar pepohonan, timbunan daun kering dan kepekatan malam menghadang dalam perjalanan

Memang tidaklah mudah melintasi hutan belantara pada waktu malam hari. Ranting-ranting liar sering menyangkut rambut. Dan duri-duri tajam tiada hentinya mangait kain atau menggores kulit mereka.

Laksmana menghunus pedangnya, kemudian berjalan mendahuluiseperti seorang prajurit bertempur di medan laga, ia menyibakan semua penghalang yang melintang di depannya. Dengan demikian, perjalanan menjadi agak lancar. Tetapi Tuhan masih perlu mengujinya lagi. Tiba-tiba turun hujan dengan derasnya sampai rimbun dedaunan tak kuasa menahannya.


Laksmana
Rupanya kita tepat di tengah hutan. Sama sekali tiada tebing ketinggian, sehingga tidak mungkin terdapat gua.

Rama
Biarlah kita berteduh di sini. Rimbun pohon ini cukup melindungi kita bertiga.

Kepada Shinta, Rama berkata;

Rama
Nah, apa kataku? Bukankah hanya azab sengsara yang akan kau peroleh?

Shinta
Selama hidup, baru kali ini hamba melihat tetes hujan membasahi hutan. Hawa yang ditebarkan terasa sungguh sangat menyenangkan.

Rama
Shinta, Ibu Kota belum terlalu jauh kau tinggalkan. Mari kanda antar kau pulang.

Shinta
Tidak! Apa alasan Paduka, sehingga memandang perlu mengantarkan hamba ke Ibu Kota? Di dunia ini hamba rasa tiada kekuatan apapun yang dapat memisahkan kita. Selain maut.

Rama
Benar dinda! Tetapi bukankah engkau akan hidup menderita?

Shinta
Perasaan bahagia dan derita, sesungguhnya hanya pertimbangan pribadi. Dalam hal ini hamba sendiri yang pandai mempertimbangkan. Cukuplah sudah bila Paduka senantiada merestui kesehatan jasmani hamba di mana saja hamba berada.

Rama kagum bukan main mendengar ucapan Shinta. Isterinya memang cantik jelita bagaikan penjelmaan ratu bidadari. Pantaslah dia di perebutkan dengandarah dan jiwa. Namun tak pernah diduganya bahwa dia menyimpan mutiara-mutiara hidup dalam perbendaharaan hatinya.

Lampu remang-remang. Lagu “Jari-Jari Cantik” dibunyikan, vokalis masuk panggung. Laksmana duduk terdiam sambil terjaga. Sementara Rama berhalusinasi tentang Shinta, bagai bidadari yang menari di awan.

Taktala fajar menyingsing. Lambat laun kehijaun hutan sudah nampak jelas. Sinar surya telah mengitip dari celah-celah mahkota pepohonan. Kecerahannya yang lembut mulai memburu sisa embun dan titik hujan yang masih tertinggal bergantungan pada ranting dan daun-daun. Keceriaan muali terasa pula menyelinapi hati. Angin yang datang dari lubuk hutan, berhembus lembut menggoda tubas-tunas pepohonan, digeridikkanya ranting-ranting dan digoncangkannya daun-daun, kemudian mereka segera melanjutkan perjalanannya dari tempat datu ke tempat lain. Mereka tiba di pertapaan Yogisrama dan bertemu Brahmana Yogiswara.

Brahmana Yogiswara
O, Dewa Wisnu tiba. Pantaslah, semalam hamba melihat cahaya terang di udara. Sekarang sampailah perjalanan hidup hamba.

Rama
Apa maksud anda?

Laksmana
Apa yang anda katakan?

Brahmana Yogiswara
Di dekat sini, tidak jauh dari Wismaloka, terdapat sebuah gunung bernama Citrakuta atau Kutarunggu. Di sana ada seorang brahmana kekasih Dewata, bernama Sutiksna. Datanglah Paduka ke sana! Dia tak ubahnya dengan diri hamba sendiri. O, Dewa Wisnu, perkenankan hamba kembali ke Nirwana. Jasmani hamba sudah terlalu lemah.

Rama
Eyang! Mengapa menyebut-nyebut Nirwana?

Rama mencoba membujuk, agar Brahmana itu membatalkan niatnya. Tetapi Brahmana Yogiswara tetap pada pendiriannya. Di ingin pergi untuk selama-lamanya. Tak terasa ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian mengheningkan cipta. Maka pada saat itu juga Brahmana Yogiswara lenyap dari penglihatan, kembali ke nirwana.

Rama
Semuanya meninggalkan kita, Laksmana! Seolah-olah Dewata agung membiarkan kita menyelesaikan masa pembuangan ini seorang diri.

Related Posts