ESTETIKA GUNUNGAN WAYANG

shares |


Gunungan atau kayon dalam pertunjukan wayang memegang peranan sentral. Bentuk gunungan dapat dilihat secara stuktur menjadi tiga bagian, yakni bagian puncak, tengah dan bagian paling bawah yang disebut palemahan (tanah, bumi). Bagian puncak berbentuk meruncing ke atas, yang dimulai dari bagian tengah yang disebut genukan (menyembul) dan lengkeh (ceruk). Kemudian, didapatkan bagian struktur bawah yang tipis dan rata. Dalam beberapa gunungan, bagian bawah ini hanya digambarkan di bagian tengah saja.


Hampir semua gunungan yang dikenal sekarang memiliki sturuktur bentuk semacam itu. Bagian paling bawah, yang hanya digambarkan amat tipis dan kecil, hampir tidak menarik perhatian, adalah lambang dunia fana. Inilah dunia manusia. Di bagian struktur ini tidak terdapat ragam hias apapun. Kalau pun ada ragam hias, amatlah sederhana, tidak serumit bagian-bagian yang lain. Lambang dunia material yang wadag ini sudah barang tentu tidak perlu penjelasan lebih jauh, karena setiap manusia normal tentu mengetahui apa yang disebut hidup di dunia ini.

Hidup manusia di dunia ini terdiri dari aspek jasmani dan aspek roh, keduanya menyatu dan tidak dapat terpisahkan. Roh yang terpisah dari badan dengan sendirinya mengakhiri hidup di dunia yang serba material ini. Meskipun demikian, karena manusia kesatuan antara roh dan badan, apakah mungkin roh dalam diri manusia memiliki alamnya sendiri dan hukum-hukumnya sendiri? Inilah pertanyaan mistik. Dan melalui mistik pula jawaban itu didapatkan, antara lain lewat pertunjukan wayang , lewat upacara dan lewat metode-metode mistik.

Ada kepercayaan bahwa manusia selama masih hidup, roh manusia mampu memasuki alam roh yang berada diluar alam wadag manusia, alam material. Gambaran tentang kemungkinan ini digambarkan dengan jelas lewat struktur bentuk dan wujud gunungan wayang. Dengan demikin, gunungan wayang adalah lambang atau gambaran dari dunia mistik manusia, dunia yang mengantarkan manusia memasuki alam di luar alam material dunia ini. Gunungan adalah roh itu sendiri. Gunungan adalah mistik. Gunungan adalah gambaran pengalaman transendental manusia.

Manusia yang ingin memasuki pengalamn mistik dan menyatu dengan alam rohaninya digambarkan melalui wujud dan strukturnya dalam gunungan. Ini sejalan dengan pertunjukan wayang itu sendiri yang juga mempunyai struktur alur cerita mistis. Wayang, candi, tarian, karya sastra kuno adalah medium atau dunia tengah untuk mencapai dunia atas atau dunia roh. Karya seni adalah dunia wadag yang mempunyai nilai-nilai empiris transendental. Dan sebaliknya, karya seni yang wadag itu disucikan dengan muatan-muatan transendental yang bersifat kerohanian. Dalam strukturnya, gunungan wayang mirip dengan bangunan candi, yakni penggambaran dunia bawah yang berbentuk kaki candi yang bertangga, dunia tengah atau dunia antara yang diwujudkan dalam kamar candi yang  pada badan candi, dan dunia atas atau dunia roh dan dewa-dewi pada bagian atap candi. Anehnya, analogi demikian itu bukan terjadi pada zaman dibangunnya candi-candi, tetapi justru ketika agama Islam mulai menyebar di Pulau Jawa pada masa-masa awalnya. Filosofi tiga dunia itu tetap dipakai dalam esensi laku mistik, meskipun konsep tentang dunia rohani sudah berbeda.

Seperti sudah diuraikan, bagian terbawah gunungan adalah palemahan. Inilah struktur dunia bawah, dunia manusia dalam hidup yang konkret ini. Bagian ini digambarkan secara datar dan amat tipis, seperti tak terhiraukan dalam penggambarannya. Malah kadang hanya digambarkan amat tebatas persis di tengah-tengah bagian dasar gunungan. Dari sinilah manusia berangkat untuk memasuki pengalaman mistisnya.

Struktur kedua adalah genukan dan lengkeh, yakni bagian menonjol dari wujud gunungan yang kebulat-bulatan. Bagian ini menjorok ke luar sehingga memilki ukuran lebar yang paling besar dalam gunungan. Inilah gambaran dunia tengah atau medium kerohanian itu. Struktur tengah ini diisi dengan gambar bangunan rumah beratap dengan kedua pintu tertutup. Atau kadang diisi dengan gambar kolam empat persegi atau gabungan antara kolam dan bangunan rumah. Bangunan rumah kecil tertutup ini selalu dijaga oleh dua raksasa penjaga yang mengingatkan orang akan arca-dwarapala atau raksasa penjaga pintu masuk candi-candi di Jawa. Ini menunjukkan bahwa bangunan itu suci, seperti halnya ketika orang memasuki kamar candi. Inilah alasan mengapa di arah bawah bangunan digambarkan tangga masuk bertingkat. Sementara itu, di kiri kanan bangunan digambarkan sayap-sayap dua ekor burung garuda yang mengembang, yang mendesak bagian gunungan itu menyembul ke kiri dan ke kanan sebagi genukan. Inilah lambang penghubung  antara dunia manusia dan dunia roh. Garuda yang kadang digambarkan lengkap dengan kepala dan kadang hanya sayapnya saja merupakan kendaraan roh manusia untuk memasuki dunia atas atau dunia roh.

Kalau dalam banyak gunungan, struktur tengah ini diisi dengan gambar bangunan kecil tertutup yang mengingatkan bangunan seperti candi yang sakral, mengapa bagian ini juga sering digambari dengan kolam empat persegi? Atau kadang gambar kolam mini disamarkan dalam atap bangunan yang genting-gentingnya digambarkan begitu rupa sehingga mirip alunan air yang berirama? Kolam ini mengingatkan orang akan arti ‘air kehidupan’ dalam lakon Bimasuci atau Dewaruci.

Di lautanlah Bima bertemu dengan jatidirinya, dengan rohaninya, dalam bentuk Bima Kecil. Dan Bima yang tubuhnya tinggi besar itu mampu memasuki Bima Kecil atau Bima Suci yang ukurannya mini. Seperti halnya candi, laut atau air adalah juga sarana manusia untuk menemui dunia atas yang rohaniah itu. Jadi, secara garis besar dapat dijelaskan bahwa struktur tengah adalah strutur dunia manusia dan roh. Inilah dunia medium, dunia perantara. Dunia antara yang tampak dan tidak tampak. Dunia sementara dan dunia abadi roh. Untuk itupun ada tingkatan-tingkatan metodenya yang digambarkan dalam wujud tingkatan berundak menuju pintu bangunan yang tertutup. Setiap gunungan akan mengisi struktur tengah ini dengan gambaran-gambaran yang sesuai dengan konsep medium mistik masing-masing pencipta atau perupanya. Dengan demikian, pemaknaan gambar-gambar di situ harus mengacu pada konsep-konsep mistik yang beraneka ragam di Jawa.

Struktur gunungan teratas adalah bagian puncak yang dimulai dari batas teratas sayap garuda. Atap bangunan struktur atas ini diakhiri dengan puncaknya yang meruncing berupa kuncup bunga. Apa saja yang saja yang digambarkan dalam struktur dunia atas ini? Pertama, yang mencolok, adalah gambar batang lurus ke atas dengan cabang-cabang yang dari bawah melebar dan semakin ke atas semakin mengecil sesuai dengan meruncingnya bentuk puncak ini. Akar pohon besar ini juga sering digambarkan tepat di atas bangunan atap struktur dunia tengah. Inilah gambar poros kosmos atau axis mundi yang dikenal merata hampir di seluruh umat manusia. Pohon penghubung dunia manusia dengan dunia rohani di atas. Melalui pohon ini manusia dapat mencapai dunia rohaninya, dunia para dewa, dunia yang mutlak. Pohon ini adalah pohon sakral yang diisi bukan gambar dedaunan, melainkan dengan gambar bebungaan. Dalam mitos Hindu dan Budha, bungan erat hubungannya dengan dewa dan tingkat kebudhaan. Dalam bangunan candi, bagian atap candi yang melambangkan dunia atas selalu diisi dengan bentuk-bentuk ratna dan stupa dan juga ragam hias bunga. Bunga dan roh selalu berkaitan. Ini mengingatkan kita pada kebiasaan orang mmenaruh bebungaan yang wanginya meyengat di kuburan-kuburan Jawa.

Struktur puncak ini, pada bagian batang pohonnya, digambari denagn kepala raksasa yang lidahnya menjulur keluar yang disebut banaspati. Dalam bangunan candi, kepala raksasa yang mulutnya menganga dan melebar ini disebut kala dan letaknya tepat di atas pintu masuk kamar candi. Ini melambangkan kesucian. Struktur dunia atas ini adalah dunia sakral. Inilah dunia rohani manusia. Dan dunia rohani manusia ini juga ada tingkatan. Bagian paling bawah dari gambar pohon sering digambari dengan dua ekor binatang yang saling berhadapan, biasanya banteng dan macan. Inilah unsur antagonostik atau konflik dalam kosmos. Juga dalam jiwa manusia.

Alam semesta ini penuh dua unsur yang saling bertentangan seperti gelap dan terang, laki dan perempuan, dunia atas dan dunia bawah. Keduanya saling melengkapi sebagai kesempurnaan kalau diharmoniskan. Keselarasan unsur antagonistik kosmos ini terjadi kalau orang berpegangan pada pohon kehidupan atau poros kosmos yang sifatnya transendental. Pertentangan antara hasrat duniawi dengan hasrat rohani dalam diri manusia dapat diselaraskan melalui pohon kehidupan ini. Banteng dan macan adalah binatang buas dalam batin manusia yang harus diselaraskan untuk mencapai harmoni rohaniahnya. Kalau ini sudah tercapai, rohani manusia dapat meningkat ketahap rohani berikutnya yang lwebih tinggi. Inilah sebabnya mengapa pada dahan berikutnya dari pohon kehidupan tersebut digambarkan binatang dunia atas pepohonan, yakni monyet. Di kanan dan kiri pohon itu hanya ada sepasang monyet, tidak ada konflik lagi. Harmoni rohani dalam tingakat ini telah lepas dari konflik. Rohani telah selaras dengan prinsip-prinsip dunia atas yang rohaiah itu. Dan pada dahan berikutnya , di kanan kiri struktur puncak, digambarkan burung-burung yang serupa, yang harmonis, tidak ada konflik lagi. Inilah tingkat lebih halus, labih stabil, labih tinggi daripada tingkat karohanian manusia. Dan pada puncaknya kita menemukan gambar tunas bunga yang meruncing. Mengapa tunas bunga? Tunas bunga adalah awal kehidupan, sekaligus juga adalah akhir kehidupan. Disebut awal kehidupan karena pada tingkat ini manusia akan memasuki hidup baru yang abadi, yang mutlak, yang sama sekali abstrak. Di balik tunas ini terdapat awung-awung, alias kekosongan kekal. Tentu saja ini konsep kepercayaan Budaha di zaman dahulu, yang tersisa dalam gunungan. Inilah awal roh manusia memasuki dunia roh yang sesungguhnya, yang ada di luar puncak gunungan itu sendiri.

Sementara itu tunas bunga ini juga disebut sebagai akhir kehidupan, karena terdapat di bagia paling ujung dari gunungan. Sedangkan gunungan itu sendiri dimulai dari pelemahan (bumi) yang ada di bagian paling bawah. Inilah gambaran sangkan-paran manusia, asal dan tujuan hidup di dunia ini. Manusia mengakhiri hidup duniawinya pada puncak gunungan. Dalam bahasa Sunda, orang yang meninggal disebut telah pupus, telah menjadi tunas. Di lingkungan masyarakat Jawa di masa lampau, jenazah yang di bawa ke kuburan sering diiringi oleh seseorang yang membawa sepucuk daun pisang paling muda yang dalam bahasa Jawa disebut pupus. Pupus pisang adalah daun pisang yang paling muda yang menyembul bulat diantara daun-daun pisang yang lain. Tunas bunga pada puncak bangunan adalah lambang kematian jasad ragawi manusia. Di balik itu adalah dunia abadi, dunia di luar gunungan itu  sendiri, yakni layar putih pertunjukan wayang.

Jelaslah bahwa gunungan dalam wayang kulit merupakan lambang kosmosmistis. Gunungan mempunya makna spiritual yang mendalam yang menyangkut sendi-sendi terdalam dalam diri manusia, meskipun dal;am praktik pertunjukan wayang, gunungan sering dugunakan untuk menggambarkan gunung sesungguhnya atau perbukitan hutan, ombak lautan, angin pembawa prahara, tunjakan, lereng jurang. Tetapi, itu hanya fungsi keduanya saja. Fungsi utama gunungan adalah penggambaran kosmologi dunia mikro dan dunia makro manusia.

Dalam sejarah wayang, bentuk gunungan seperti yang digambarkan di atas baru muncul ketika zaman kerajaan Islam di Demak pada abad ke 15 dan 16. pada zaman Hindu-Budha di Jawa, seperti di zaman Majapahit, gunungan seperti itu belum muncul. Gunungan zaman Hindu dalam wayang masih merupakan gambar pohon. Makna gunungan zaman Hindu adalah ‘pohon hayat’, pohon kosmos, poros semesta dan luar semesta. Gunung belum dimasukkan dalam konsep gunungan. Hal serupa masih tersisa dalam bentuk gunungan di Bali. Inilah sebabnya mengapa gunungan juga disebut kayon atau kekayuan, alias pohon. Yang dimaksud adalah pohon kehidupan itu, yang menembus jasmani dan rohani manusia.

Kalau benar bahwa gunungan yang kita warisi sekarang ini berasal dari zaman Islam Demak, maka konsep religi dan estetiknya tentu berasal dari zaman itu, meskipun demikian mengalami perkembangan dan perubahan di zaman-zaman berikutnya. Mengapa demikian? Pertanyaan ini harus dijawab dengan kenyataan sejarah masuknya agama Islam di Indonesia, terutama di Jawa. Sebelum agama Islam masuk di lingkungan masyarakat Jawa, masyarakat ini telah berabad-abad memeluk agama Hindu dan Budha. Akar agama dan filsafat kedua agama telah amat kuat di lingkungan masyarakat Jawa. Aspek mistismenya sangat kuat. Masyarakat Jawa yang mistis dalam agamanya semula ini, yakni agama asli, Hindu dan Budha, dengan sendirinya lebih mudah menerima agama baru, yakni Islam, dalam aspek tasawufnya pula. Dan, pertunjukan wayang amat mistis itu tidak bisa dilepasakan dari kehidupan religius masyarakat Jawa. Maka, kesinambungan budaya dengan aspek mistismenya ini tetap dipelihara oleh para pengembang agama Islam di Demak. Titik temu terdapat dalam aliran tasawuf. Perkara ini juga sesuai dengan berkembangnya sastra mistik pada zaman itu., yakni kitab-kitab suluk. Dalam jenis kesusteraan ini tampak sekali unsur tasawufnya. Amat terkenal adanya pertentangan antara dua aliran tasawauf zaman itu, yakni aliran ortodok dan heterodok. Persoalanya menyangkut ‘kemanunggalan kawula gusti’ sebagai kesatuan zat atau berlainan zat. Dalam persoalan ini cukup ditunjukkan bahwa pada zaman Demak yang Islam itu, wayang tetap dipelihara karena unsur mistisme Hindu-Budha yang sejalan dengan ajaran tasawuf.

Gunungan adalah gambaran dari laku mistik tersebut. Dengan demikian, gunungan sebagai produk pemikiran keagamaan dan kesenian harus ditempatkan kambali dalam konteks zamannya sendiri, yakni zaman berkembangnya agama Islam di Pulau Jawa. Agama Islam yang sejak pertengahan abad ke-19 mulai beralih kepada akidah-akidah hukum agama (fikih) merupakan perkembangan baru dalam sejarah agama di Jawa. Pada zaman itu hubungan antara Indonesia dengan Timur Tengah mulai lancar akibat dibangunnya terusan Suez yang memungkinkan lebih banyak lagi orang Indonesia datang ke negara Timur Tengah. Jadi, gunungan adalah produk masyarakat Jawa di zaman Islam yang masih tebal aspek mistisnya. Dan pemaknaan tentang gunungan tentu terus dikembalikan pada zamannya tersebut. Dapat pula disaksikan bahwa unsur-unsur kepercayaan mistik agama-agama sebelumnya, yakni Hindu-Budha, masih cukup kuat dalam gunungan.

Ditinjau dari segi ini, gunungan pada awal mulanya memang berasal dari fenomena gunung dalam arti yang sesungguhnya. Dalam sitem religi asli di Indonesia, gunungan adalah tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Orang memuja puncak gunung, melarang manusia memasuki wilayah hutan larangan di gunung, membuat bangunan punden berundak yang menyerupai puncak gunung. Itu semua membuktikan bahwa pada awalnya manusia Indonesia menganggap gunung sebagai tempat sakral. Gunung adalah dunia roh. Gunung dihormati.

Ketika agama Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, konsep tentang pohon hayat mulai masuk. Pohon hayat ini sebenarnya juga sudah ada didalam sistem kepercayaan religi Indonesia asli. Dengan masuknya agama-agama dari India tersebut, gejala hutan atau hutan mulai hidup mengemuka kembali. Inilah sebabnya mengapa bentuk gunungan belum terbentuk dalam pertunjukan wayang di Jawa dan Bali. Gunungan pada masa itu masih berbentuk pohon hayat atau kayon. Di candi-candi banyak pula dijumpai pahatan pohon hayat dalam bentuk kalpataru. Barulah pada zaman Demak, zaman Islam, kedua konsep mistik dengan lambang-lambang masing-masing itu, yakni gunung dan pohon, disatukan. Gunungan kemudian juga menjadi kayon.

Meskipun demikian, gunungan yang sekarang kita warisi bentuk dan maknanya itu masih banyak memuat unsur-unsur Hindu-Budha daripada unsur keislamanya. Gambar ular naga yang melilit pohon di struktur puncak gunungan misalnya, jelas berasal dari konsep tahap-tahap rohani kebudhaan. Belitan naga yang ritmis itu melambangkan tanga-tangga halus dan lembut menuju puncak pengalaman rohani. Juga gambar burung garuda, bangunan dan kolam, raksasa penjaga. Semuanya berasal dari budaya Hindu-Budha, yang di Indonesia telah sinkretis rupa sehingga menjadi suatu konsep kepercayaan.

Hal ini tidak terlalu mengherankan karena pertunjukan wayang sendiri bersifat Hinduitis dan itu diwarisi dan digemasi oleh masyarakatnya sampai sekarang. Pertunjukan itu ternyata tidak bertentangan secara esensial dengan agama Islam yang kemudian masuk.
Secara esensial, gunungan mengandung unsur primordial budaya. Dalam zaman Islam, konsep rohani Hindu-Budha itu tetap hidup dalam gunungan, meskipin konsep dasar agama ini adalah keselarasan antara kepentingan rohani dan kepentingan dunuawi. Itulah makna simbolik dari bentuk gunungan wayang.

Related Posts