satu tambah satu sama dengan tiga

shares |

Pada suatu hari saat peradaban mencapai puncak, terjadi goncangan bumi yang dahsyat akibat ledakan yang beruntun gunung berapi. Udara yang merah bagai terbakar, menyebarkan gamping panas,belerang dan racun tanah. Hewan-hewan yang hidup disekitar gunung itu lari menerjang belantara, pedusunan, sawah dan ladang, tanpa peduli. Dan penduduk lari ketakutan memasuki kota-kota terdekat, hendak mencari perlindungan kepada hamba-hamba negeri.
Peristiwa itu mencemaskan pula para petinggi negeri, alim ulama dan para ahli. Apa sebab peristiwa itu luput dari pengamatan mereka? Biasanya mereka pandai menangkap peristiwa alam, karena memiliki penglihatan bagai dewa. Maka dengan serta merta mereka bergegas berpikir dan saling bertanya, ada apakah gerangan?.
“ Ya Tuhan! Rahasia apakah yang kau kehendaki, sehingga hambamu tidak Kau perkenankan melihat sebelum peristiwa mngerikan ini terjadi?”
Tersebutlah seekor merpati yang masih berada ditepi sarang, karena harus menunggui anaknya yang sedang belajar terbang. Anaknya mencicit ketakutan mendengar suara gemuruh, dan bertanya pada induknya, “Ibu, apakah itu?”
Ibunya yang hendak terbang ke udara, mngurungkan niatnya. Naluri keibuan membangkitkan kasih sayang, taktala mendengar suara iba anaknya. Dengan pandang menyerah, ia memanjangkan lehernya, meraih sekenanya dan menjawab ”Duhai anakku! Aku tak dapat menerangkan. Hanya yang kurasa kita harus secepatnya terbang dari sini, mencari pengungsian.” “Kemana?” “Kemana saja! Karena dimana-mana ada hidup”.
Tetapi anaknya belum pandai mengembangkan sayap. Ia masih melatih diri. Terkadang berjingkat-jingkat, lalu jatuh terkulai dan surut kebelakang. Ibunya sudah gelisah melihat api meggulung, dan panasnya menjalar kesegenap penjuru. Dilayangkan pandangannya ke seluruh alam dengan rasa putus asa. Dalam hati, ia hendak mencari pertolongan. Tetapi kepada siapa? Semuanya telah melarikan diri. Pohon-pohon bertumbangan. Batu-batu alam yang dulu bangga dangan kelestariannya, kini renggang dari tempatnya berpijak. Goyah, lalu menggelinding dengan suara gemuruh, memporak-porandakan semua yang dilandanya.
“Ah anakku! Belum jugakah engkau pandai terbang?”
Anaknya mencoba lagi menggerakkan sayapnya dan meloncat-loncat. Taktala tiba ditepi sarang, di jengukkan, tetapi sekonyong-konyong ditariknya kembali sambil menjerit.
“Ibu. . . !” Katanya dangan tubuh gemetar mencari dekapan.
“Anakku dahulu akupun demikian,” bujuk sang ibu. “Taktala ibunda mengajarku terbang, didorongnya aku ke tepi. Aku jatuh. Tetapi tiba-tiba sayapku mengepak-ngepak. Aku dapat bertahan di udara, anakku. Tentu saja mulanya aku lemah, sehingga nyaris terjerumus di antara dedaunan. Namun, tiba-tiba kakiku bergerak cepat mngejangkan diri, sehingga dengan sigap aku hinggap pada sebuah ranting. Nah, mengapa aku jadi cekatan? Di kemudian hari barulah aku mengerti, bahwa jasmani ini ada yang mengendalikan, mengembangkan dan membimbingnya. Di sinilah letaknya ooo… anakku. Andaikan aku dapat menunjukan, tentu akan melihat dan merabanya pula. Karena yang mengendalikan, mengembangkan dan membimbing sekalian hidup dan kehidupan ini adalah sifat-sifat Sang Hidup itu sendiri, yang bertahta di dalam rasa.”
“Tentunya nanti aku pun dapat terbang, bukan?”sela merpati kecil.
“Wahai anakku! Bukan nanti atau kelak, tetapi sekarang, anakku. Ya, pada saat ini juga!” bujuk sang ibu. Tetapi bunda hanya kuasa menganjurkan. Yang menggerakkan adalah kesadaran. Kesadaran digerakkan oleh rasa yang tak teraba.”
Dengan sabar ibu menjelajahkan pandangnya kesekitar. Rasa cemasnya telah meruyak hingga keleher, menyebabkan ia mulai gemetar. Sesaat diteguknya udara untuk melapangkan dadanya.
“Perhatikanlah bundamu! Begini seharusnya engkau terbang,” katanya seraya merenggangkan kaki. Lalu disentakan sayapnya dan terbang mengelilingi sarang.
“Terbanglah, terbanglah!” serunya mengajak,”Tirulah bunda!”
Anak burung itu mengepak-ngepakan sayapnya sambil berjingkat. Dengan petunjuk ibunya ia meloncat ke udara tetapi jatuh terkulai di tengah sarang sehingga sarang itu bergoyang oleng.
Dengan keluh putus asa, ibunya hinggap kembali di tepi sarang. Ia datang mendekap anaknya, dan berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri.
“Baiklah! Kutunggu engkau sampai dapat terbang. Meskipaun lahar dan awan panas telah terasa menjangkau, aku akan tatap bersamamu, bukankah engkau ada karena bunda? Engkau sendiri tidak tahu, apa sebab engkau mesti hidup bersamaku dalam keadaan begini?”
ia duduk mengerami anaknya dan mencoba mengenyahkan rasa kecewa.
“Aku belum bisa terbang, Bu!” desah anaknya dalam dekapan.
“Sudahlah, lupakan semua itu, Nak! Nantipun engkau akan dapat terbang,” hiburnya. Sejenak didongkakkan kepalanya seolah-olah ia sedang mencari sesuatu, kemudian berkata menghibur diri.
“Lihatlah! Gunung di kejauhan itu mulai meletus. Tentu engkau pun merasakan goncangannya. Ah, seandainya ayahmu bersama kita, akan kutanyakan mengapa semua ini terjadi. Ayahmu mahkluk kembara yang gemar menjelajah seluruh jagad. Sering kali ia meyakinkan bunda bahawa ia tahu segalanya. Suatu hari ia mendengar keluh kesah seorang brahmana di padepokan, yang sibuk mencari suatu masalah yang dipersoalkannya sendiri. Dia berkata begini “Malam nanti atau apabila tubuhku terasa sudah sangat letih, aku akan jatuh tertidur lelap. Siapakah yang mengajakku tidur? Apapula sebabnya seseorang yang tertidur tak mengenal dirinya sendiri, kepandaiannya, anak isterinya, keselamatannya dan segalanya?” Dan ayahmu yang tahu segala-galanya, ikut pula berpikir. Sehingga pada suatu hari , ia menghilang tanpa kabar beritanya, sampai engkau menjenguk dunia saat ini. Karena itu, rahasia persoalan sang brahmana dahulu, belum juga terpecahkan hingga kini. Kurasa, ayahmu pun tak mampu mencari kuncinya.”
Ia berhenti menghela nafas, kemudian meneruskan
“Mahkota pohon yang menyelimuti kita ini, berdiri di atas tanah pertiwi, dahulunya ini merupakan tanah yang konon gemah ripah loh jinawi, tata tentram raharja atupun sebutan lain yang agung. Kini, gunung itu meletus, tanah merekah, udara beracun dan huru-hara di seluruh negeri. Ha… kini anganku dapat menjawab, apa sebab semua ini terjadi.”
Ia berhenti mengagumi khayalnya. Hampir tak diingatnya lagi bahaya telah semakin dekat. Kini udara merah menyala dan hujan abu makin merata. Angina yang berhembus dari pinggang gunung itu menebarkan hawa belerang serta gas beracun kesegala arah.
“Bu, ajarlah aku terbang sekali lagi!” pinta anaknya
“Sudahlah! Sebentar lagi Dewa Wisnu pasti turun kedunia, memusnahkan kepongahan dan kebiadaban. Diamlah, anakku.”
Tiba-tiba ia mengatupkan paruhnya rapat-rapat dan memiringkan kepala menjamkan pendengarannya. Di dengarnya sesuatu yang menarik perhatiannya dan melihat berkelebatnya suatu bayangan hitam. Jauh dari barat, seekor burung datang dengan cepatnya. Burung itu memanggil namanya. Dengan rasa heran dan penuh harap ditegakkan kepalanya.
“Ayahmukah itu?” bisiknya ragu.
”Apa kata ibu?” tukas anaknya sambil mendongkakkan kepala dari dekapan.
“Ayahmu! Ya, ayahmu dia datang!” kata ibunya yakin.
Burung pendatang itu menghampiri dan berseru nyaring.
“Suri! Aku datang! Dengarkanlah! Kunci rahasia hidup sudah aku peroleh. Ikutlah! Nanti ku katakana kepadamu.”
“Tapi bagaimana dengan anak kita?”
Anak kita? Oh, ya! Anakmu…, anakku. Percayalah, dia akan terbimbing dengan sendirinya.”
“Oleh siapa?” Tanya suri.
“Itulah yang hendak kukabarkan kepadamu.”
“Tetapi awan panas itu mulai melanda. Bagaimana anak kita?”
“Ssst! Biar gugur gunung itu, biar meledak udara ini, aku harus mengabarkan hal ini sekarang juga ikutlah!”
Mereka terbang melayang tinggi di udara dan menembus awan gelap dengan cepatnya. Kemudian sang jantan berkisah.
“Aku telah mendaki gunung dan menyelinap ke singgasana para dewa yang sedang bersidang. Di sana kulihat para resi,brahmana,muni dan para dewa berkumpul menangisi Dewa Wisnu. “Kesejahteraan dunia mulai rapuh.” Kata mereka, “Karena itu Wisnu harus turun secepatnya menolong umat manusia.”
Wisnu yang lam berdiamdiri, akhirnya menjawab, “Aku mau berangkat, tapi bukan dengan kehendakku dan bukan pula karena kekuatan lain yang memerintah; karena yang kusujudi hanya satu. Itulah Hidup yang menggerakkan aku untuk kebajikan ini. Semua yang ada dan yangtiada adalah kepunyaan-Nya, yang menbimbing, yang menjadikan dan yang memusnahkan semua ini adalah Sang Hidup itu juga. Hidup itulah yang memiliki segalanya, sebab itu tunggulah sampai Sang Hidup itu sendiri memerintahkan daku turun ke dunia!”
Dan tahukah engkau? Brahman yang kuceritakan dahulu, berada pula dalam sidang itu.
Sigap ia bertanya,”Siapakah duhai Wisnu, yang mengajak kita tidur dan merenggutkan kesadaran diri?”
:Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Hidup adalah sumber segalanya?”
Mendengar jawaban Wisnu itu, cepat aku turun dan mencarimu. Dan sesungguhnya itulah kuncinya.
Kemudian mereka melayang rendah, menembus awan untuk mencapai tampatnya semula. Namun, tidak mudah bagi mereka, karena sekarang udara telah diliputi kegelapan yang pekat.
“Tetapi terangkanlah kepadaku, apa sebab gunung itu meletus?” Tanya Suri tiba-tiba.
“Apakah engkau masih perlu keterangan?” sang jantan balik bertanya. “Bukankah alam telah menjawab pertanyaan semacam itu?”
“Ah… bukan itu yang kumaksudkan. Seandainya engkau menyaksikan goncangan alam pertama kalinya, seandainya pula engkau melihat apa yang terjadi disamping anakmu yang gemetaran, pertanyaan itu akan timbul di hatimu. Apa sebab semua bencana ini terjadi?”
“Untuk persembahan, adikku.”
Suri belum juga mengerti dan terus mendesak. Tetapi sang jantan berkilah.
Betapa aku mampu memberi penjelasan yang lebih jelas lagi. Karena aku hanya menirukansabda Dwa Wisnu belaka. Tetapi, tunggulah bila Dewa Wisnu telah turun. Semua masalah akan meanjadi jealas. Ah, andai kata ada nyala pandu yang dapat membawa daku ke tempat dia berada, akan kukumpulkan seluruh dayaku untuk mengejarnya. Tetapi hidup ini terlalu diam, dinda. Ia benar-benar diam seperti tak mempedulikan segala sesuatunya.”
Tiba-tiba teringatlah mereka kepada anaknya yang tertinggal dalam sarangnya. Bergegas keduany menuju kesana. Tetapi, pohon tempat sarangnya berlindung, kini telah tumbang.
“Kemana dia?” jerit Suri memilukan.
“Tenanglah, dinda!” bujuksangjantan, “barang kali telinga kita dapat menjaring pantulan kepak sayapnya.”
Keduanya terbang berkeliling memenggi-menggi anak mereka, lalu melayang rendah seolah ingin meraba tanah. Tetapi udara saat itu tak tertahankan lagi panasnya. Ketika jerit putus asa mencekam perasaanya, pandangan Suri menangkap setitik bayangan mungil menggelepar-gelepar.
“Anakkukah itu?” bisik Suri cemas bercampur harap. Ia meliuk kebawah, tetapi sang jantan melarangnya.
“Udara terlalu panas adikku! Tahanlah gejolak hatimu barang sesaat. Marilah kita fikirkan, apa sebab dia tahan melawan siksaan alam, sedangkan kita tidak? Coba rasakan! Hawa belerang dan gamping sangat panasnya. Adikku…! Aku akan memanjat mega-mega itu. Ikutlah!”
“Betapa mungkin?”
“Betapa tidak?” balasnya cepat. “LIhatlah! Anakmu benar-benar telah kuasa menahan diri. Nalurinya sudah mulai bicara. Jika demikian halnya, dia bukan lagi milik kita. Dia telah menjadi kepunyaan Yang Hidup. Jika Hidup menghendakinya, biarlah Dia sendiri yang mengasuh, mengembangkan dan membimbingnya.

Related Posts